NovelTere Liye dari serial Bumi yang keempat ialah berjudul Bintang. Novel dengan tebal 392 halaman ini, pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017. Pada novel ini, Ali, Raib, dan Seli masih melanjutkan misinya di klan Bintang. Apa misi yang akan mereka lakukan?
TereLiye “Bumi” 148 Tetapi pertarungan jauh dari selesai. Sosok tinggi kurus itu masihbisa berdiri, tertawa marah. Aku mengeluh melihatnya. Bukankah diasudah terkena pukulan kencang Miss Selena? Belum habis suara tawa sinisnya, tubuh itu telah dia muncul, melompat persis di depan Miss Selena,menyerang. Miss Selena dengan gesit menghindar. Sosok tinggi kurus itumenghilang kembali. Itu hanya serangan tipuan, karena kemudian diamuncul di belakang Miss Selena, menghunjamkan tinjunya. Lebih bertenaga. Miss Selena menangkis. Disusul lagi seranganberikutnya. Aku menelan ludah. Gerakan mereka sekarang nyaris tidak terlihatsaking cepatnya. ”Apakah Miss Selena baik-baik saja?” Seli bertanya. Suaranyabergetar oleh kecemasan. Aku menggeleng. Aku tidak tahu. Sejauh ini Miss Selena bertahan,tidak punya kesempatan balas menyerang. Dua pukulan dari sosok tinggi kurus itu susul-menyusulmenghantam tameng lubang hitam yang dibuat Miss Selena. Lubang ituberhamburan, sosok tinggi kurus itu merangsek maju, melepas lagi duapukulan beruntun. Miss Selena terlambat menangkis pukulan terakhir,berdebum, tubuhnya terbanting ke samping. Sosok tinggi kurus itusepertinya tidak memberi jeda. Dia tidak berhenti, dan melepas pukulanberikutnya sebelum Miss Selena kembali siap. Seli menjerit melihat Miss Selena terbanting ke sana kemari, samasekali tidak bisa menangkis. Satu, dua, tiga pukulan, Ali ikut menahannapas tegang. Empat, lima, enam pukulan, entah sudah seperti apakondisi Miss Selena menerima begitu banyak tinju, berdentum berkali-kali. Tujuh, delapan, aku sudah tidak tahan lagi melihatnya. Miss Selenatidak akan kuat menerima pukulan bertubi-tubi. Dia butuh bantuan. Akurefleks melompat, mengangkat tangan, jemariku mengepal membentuktinju, berteriak marah. ”Hentikan!” Astaga! Aku hanya berniat melompat satu langkah, tapi tubuhkubergerak jauh sekali. Entah bagaimana caranya, suara berdesir kencang “Bumi” 149terdengar saat tanganku terangkat, seperti ada angin puting beliung yangberputar deras di kepal tinjuku, bergumpal cepat. Tidak hanya itu, bungasalju juga berguguran dari kepal tinjuku. Dingin menyergap seluruh aula. Apa yang terjadi? Bagaimana aku melakukannya? Tinjuku telakmenghantam sosok tinggi kurus itu sebelum aku menyadarinya. Suaraberdentum memekakkan telinga terdengar. Sosok tinggi kurus yang ganasmenyerang Miss Selena terlempar jauh, bahkan sebelum tinjukumengenai tubuhnya. “Bumi” 150 KU tidak sempat memikirkan apa yang telah terjadi. Kenapaaku bisa melepaskan pukulan seperti itu. Aku panik meloncat menahanMiss Selena yang tanpa tenaga, seperti pohon lapuk, jatuh dari posisiberdirinya. Aku memeluknya. Kami berdua jatuh terduduk di lantai. Wajah cemerlang bagai bulan purnama Miss Selena redup. Diamasih bernapas, pelan, hampir tidak terdengar. Kondisinya amatmengenaskan. Kesadarannya menurun. ”Bangun, Miss Selena!” aku berseru panik. Jauh dari kami, sosok tinggi kurus itu terbanting menghantamdinding aula, terkapar. Entah apa yang terjadi padanya. Mata Miss Selena terbuka kecil. ”Aku baik-baik saja, Ra,” suara Miss Selena berbisik. Apanya yang baik-baik saja? Miss Selena persis habis digebukiorang satu kampung. ”Mudah sekali melakukannya, bukan?” Miss Selena menatapkusambil tersenyum. ”Mudah apanya?” Aku tidak mengerti. ”Ya membuat pukulan tadi. Tidak ada yang pernah mengajarimu,bukan?” Miss Selena menatapku lembut. ”Itu pukulan yang hebat sekali,Ra. Setidaknya butuh latihan bertahun-tahun untuk menguasainya diakademi terbaik. Kamu bahkan tidak perlu mempelajarinya.” Aduh, dalam situasi seperti ini, ada yang lebih pentingdibicarakan. ”Kita harus lari, Miss Selena.” Suaraku bergetar cemas, akumenatap dinding aula seberang. Sosok tinggi kurus itu masih terkapar.”Miss Selena harus segera memperoleh pertolongan dokter.” “Bumi” 151 Miss Selena menggeleng. ”Kamu bisa melakukan apa pun, Ra,karena kamu yang terbaik. Kamu pewaris Klan Bulan pertama yangdibesarkan di Dunia Tanah. Juga Seli, dia pewaris Klan Matahari pertamayang berjalan di atas Bumi. Kalian saling melengkapi. Belajarlah dengancepat mengenali kekuatan kalian. Aku tahu, itu mungkinmembingungkan, banyak pertanyaan di kepala. Tetapi waktu kalianterbatas, dan aku khawatir tidak banyak yang sempat menjelaskan.” Aku berseru panik. Di seberang, sosok tinggi kurus itu perlahanmulai berdiri. ”Kita tidak akan menang melawan sosok tinggi itu, juga tidak akanbisa lolos. Kamu ingat baik-baik, namanya Tamus. Usianya seribu tahu, Ra, dulu dia adalah guruku.” Miss Selena tertawa getir.”Tentu bukan pelajaran matematika yang dia ajarkan. Karena jangankanaku, kalian pun tidak suka pelajaran tersebut di kelasku, bukan?” Aku menggeleng. Maksud gelenganku bukan untuk bilang aku sukapelajaran matematika, melainkan waktu kami sempit, sosok tinggi kurusitu sudah sempurna berdiri. ”Kamu perhatikan kalimatku, Ra.” Miss Selena menarik kepalakulebih dekat, suaranya terdengar tegas. ”Aku akan membuka lubang hitamagar kalian bisa melarikan diri ke tempat yang tidak bisa didatangi Tamusdan pasukannya. Kalian bertiga secepat mungkin melintasi lubang kalian lari, aku akan menahan Tamus sekuat mungkin. Diatidak akan suka melihat kalian pergi.” ”Apa yang akan terjadi dengan Miss Selena kalau kami sudahpergi?” ”Jangan banyak bertanya, Ra.” ”Miss Selena harus ikut!” aku berseru. Miss Selena menggeleng. ”Kalian bertiga jauh lebih penting. Sudah,jangan bertanya lagi.” ”Aku tidak mau meninggalkan Miss Selena.” “Bumi” 152 Tamus telah menghilang dari seberang dinding. Aku tahu diamenuju ke mana. Saat suara seperti gelembung air meletus terdengarkembali, dia melompat di atasku dan Miss Selena dengan ganas,menghantamkan pukulan ke arah kami. Miss Selena memelukku. Kami menghilang. Lantai aula hancur lebur hingga radius dua meter. Lubang besarmenganga. Aku dan Miss Selena muncul di dekat Seli dan Ali. Miss Selenamelepas pelukan, bangkit berdiri, mengacungkan jemarinya ke dinding,berseru dalam bahasa yang tidak kukenali. Lubang dengan pinggiranseperti awan hitam mendadak muncul, membesar dengan cepat,pinggirannya berputar laksana gasing. ”Cepat, Ra! Masuk!” Miss Selena berseru. ”Aku tidak mau pergi!” aku berseru panik. Aku tidak akan pernahmeninggalkan Miss Selena sendirian menghadapi sosok tinggi kurusmenyebalkan itu. ”Ali! Bawa teman-temanmu masuk ke lubang hitam. Seret jika Raibmenolak!” Miss Selena menoleh ke arah Ali. ”Kamu mungkin saja hanyaMakhluk Tanah, tidak memiliki kekuatan, tapi kamu memiliki sesuatuyang tidak terlihat. Minta Ra menunjukkan buku PR matematikanya.” Miss Selena sudah menghilang. Aku tahu dia menuju ke mana. MissSelena sudah berdiri gagah berani menghadang Tamus yang bersiapmeloncat menyerbu kami. Pertarungan jarak dekat kembali terjadi. Tamus mengamuk,meraung. Pukulannya bukan hanya menderu bagai angin puyuh, tapijuga mendesis dingin. Aku yang berdiri belasan meter dari tengah aulabisa merasakan dingin menusuk tulang setiap tangannya bergerak danberdentum mengenai sasaran. Percikan bunga salju memenuhi aulasekolah, melayang berguguran. Miss Selena segera terdesak, menjadibulan-bulanan pukulan. “Bumi” 153 ”Kita harus pergi, Ra!” Ali berseru, menunjuk lubang hitam yangmasih terbuka. Aku menggeleng kuat-kuat. ”Kamu harus mendengarkan Miss Keriting!” Ali mencengkeramlenganku. Seli menatapku, bergantian menatap Ali, bingung. Aku mengepalkan tangan. ”Aku tidak akan lari. Aku akan ikutbertarung membantu Miss Selena.” ”Lubang hitamnya mengecil, Ra!” Ali berseru panik. ”Kita harussegera masuk. Lubang ini entah menuju ke mana dan sepertinya tidakakan bertahan lama.” Aku menoleh ke lubang hitam itu. Ali benar, lubangnya mulaimengecil. Aku menoleh ke depan. Miss Selena terbanting lagi, tubuhnyaterbaring di lantai aula. Tamus sudah meloncat, melepas dua pukulandari atas. Miss Selena yang tidak bisa ke mana-mana, mati-matianmembuat tameng, menerima pukulan dalam posisi meringkuk. Situasinyasemakin payah. Apa yang harus kulakukan? Aku menggigit bibir. Miss Selena menoleh kepada kami. Wajahnya meringis kesakitan,terus bertahan dengan sisa tenaga. ”Lari, bodoh!” Aku bertatapan dengan Miss Selena. Wajah itu menyuruhku segerapergi. ”Bawa teman-temanmu lari, Ali! Sekarang!” Miss Selena ber kalimatnya bahkan hilang karena menerima dentuman pukulanberikutnya. Ali menyeretku kasar. Aku berontak, berseru tidak mau. Ali tidakpeduli. Dia menarikku kencang sekali. Aku terjerembap melintasi lubanghitam yang terus mengecil. Seli segera menyusul. “Bumi” 154 Tamus menghantamkan pukulan mematikan terakhir ke arah MissSelena. Seperti ada hujan salju turun dari langit-langit aula. Seluruhruangan terasa dingin menggigit. Aku menjerit, tidak tahan yang berdiri menginjak tubuh Miss Selena mendongak melihatkami, baru menyadari sesuatu. Melihat kami akan kabur, dia meraungmarah, meloncat cepat. Tubuhnya menghilang. Dari dalam lubang, Ali mengayunkan pemukul bola kastinya kedepan. Entah apa yang dilakukan Ali, kenapa dia memukul udarakosong? Tamus itu persis berada di depan lubang hitam. Apalah artinya pemukul bola kasti bagi sosok tinggi kurus pukulan Ali persis menghantam wajah Tamus saat dia muncul didepan kami, saat tangannya berusaha meraih ke dalam lubang. Pemukulbola kasti patah. Meski tidak terluka sedikit pun, pukulan itumengagetkan Tamus, membuatnya refleks melangkah mundur,menciptakan satu detik yang sangat berarti. Lubang hitam dengan cepatmengecil, lantas menghilang, menyisakan lengang. Tamus mengaum lantang, marah sekali. Dia beringasmenghantamkan tangan ke dinding aula. Bunga salju tepercik ke mana-mana menyusul dentuman-dentuman keras. Kami sudah menghilang, tidak bisa dikejar. “Bumi” 155 ELAP sesaat, tidak terlihat apa pun. Aku, Seli, dan Ali beradupunggung, berjaga-jaga, menatap kegelapan. Kemudian muncul setitikcahaya, kecil, segera membesar setinggi kami. Lubang berpinggiran hitam,berputar seperti awan, terbentuk di depan. Kami bisa melihat keluar,bukan aula sekolah. Terang, tidak remang, juga hangat, tidak dinginmenusuk tulang. Ali lebih dulu melangkah. Si genius itu sepertinya tidak perluberpikir dua kali atau memeriksa terlebih dahulu ke mana lubang inimembuka. Dia keluar sambil mencengkeram pemukul bola kastinya yangtinggal separuh. Seli menyusul kemudian. Ali mengulurkan tangan,membantu. ”Kita ada di mana?” Seli bertanya. ”Kita berada di kamar Ra.” Ali yang menjelaskan. Ali benar. Aku mengenali ruangan ini, kamarku. Lubang di atas lantai mengecil saat kami bertiga sudah lewat, lantaslenyap tanpa bekas. Kalau saja situasinya lebih baik, mungkin aku akan merebutpemukul bola kasti Ali, memukul si biang kerok itu. Jelas sekali dia tahuini kamarku dari alat yang dia pasang. Tapi ada banyak hal yang lebihpenting untuk diurus sekarang. ”Apakah Miss Selena akan baik-baik saja?” Seli bertanya cemas. ”Aku tidak tahu,” jawabku. ”Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Seli bertanya lagi. ”Buku PR matematikamu di mana, Ra?” Ali berseru. Aku bergegas melompat ke meja belajar yang tidak ada bangkunyasudah kuhilangkan semalam. Aku bisa leluasa berdiri mencari di antara “Bumi” 156tumpukan buku tulis. Aku menarik buku itu, menyerahkannya pada yang paling genius di antara kami. Semoga dia tahu harus diapakanbuku ini. Sejak beberapa hari lalu, aku sudah menggunakan berbagaicara, buku PR matematikaku ini tetap saja buku biasa. Aku dan Seli menunggu tidak sabar. Ali memeriksa buku itu, membuka halamannya, memperhatikandari dekat, memeriksa setiap sudut, menepuk-nepuk pelan sepertiberharap ada yang akan jatuh. Akhirnya dia terdiam. ”Apa yang kamu temukan?” aku bertanya. ”Ini hanya buku PR biasa.” Ali menggeleng. Aduh, aku juga tahu itu buku PR. Seli di sebelahku juga mengeluh. ”Ada sesuatu yang menarik?” aku mendesak. ”Eh, ada... Maksudku, nilai matematikamu jelek sekali, Ra.” Alimembuka sembarang halaman, menunjukkannya kepadaku. ”Lihat,hanya dapat nilai dua. Kamu tahu, persamaan seperti ini bahkan bisakuselesaikan saat kelas empat SD.” Sebenarnya kali ini Ali tidak mengucapkan kalimat itu dengan nadasombong. Dia hanya lurus berkomentar, karena nilai matematikakumemang mengenaskan. Tapi aku jengkel sekali mendengarnya. Akumerebut buku PR dari tangannya. Enak saja dia bilang begitu dalamsituasi runyam, dengan seragam dan tubuh berlepotan debu, wajah danrambut kusut masai, bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi pada MissSelena di aula sekolah sekarang. ”Aku belum selesai memeriksanya, Ra.” Ali mengangkat bahu,protes. ”Kamu tidak memeriksanya,” aku menjawab ketus. ”Kamu hanyamelihat-lihat nilaiku.” ”Sori.” Ali nyengir. ”Tapi itu kan juga memeriksa. Eh, maksudku,siapa tahu Miss Keriting menaruh kode atau pesan di nilai yangditulisnya. Aku janji memeriksanya lebih baik.” “Bumi” 157 Seli memegang lenganku, mengangguk. Baiklah. Aku menyerahkan lagi buku PR matematikaku pada Ali. ”Kamu sudah mencoba memeriksanya sambil menghilang?” Alibertanya, kembali memeriksa buku PR matematikaku. Aku mengangguk. ”Tidak ada yang berbeda, tetap buku biasa.” Ali menurunkan tas ransel di pundak, mengeluarkan beberapaperalatan. Aku baru tahu bahwa tas besar yang sering dibawa Ali selamaini berisi banyak benda aneh. Dulu murid-murid menebak, apasebenarnya yang dibawa si genius ini ke sekolah. Setiap pelajaran diamalah disetrap atau diusir dari kelas karena ketinggalan membawa apa isi tas besarnya? Seli bahkan pernah berbisik, jangan-jangan sigenius ini merangkap penjual asongan di sekolah. Atau pedagang daripasar loak, membawa dagangannya ke mana-mana. Aku dulu tertawacekikikan mendengarnya. Lima belas menit mengutak-atik buku itu, mengolesinya dengansesuatu, memanasinya dengan sesuatu, mencium, menggunakan kacapembesar, entah apa lagi hal aneh yang dilakukan Ali, tetap tidak adasesuatu yang menarik. Itu tetap buku PR matematika biasa. Ali mendongak, menyerah. ”Aku sudah melakukan apa pun yangaku tahu, Ra.” Aku menatapnya gemas. ”Terus bagaimana? Jelas sekali MissSelena menyimpan sesuatu di buku PR itu.” Tanpa kalimatnya tadi di aulasekolah, beberapa hari lalu saat mengantarkannya, dia sudah berpesanbuku itu penting. ”Apakah Miss Selena mengatakan sesuatu saat memberikan bukuini?” Ali bertanya. Aku diam sejenak. ”Iya, Miss Selena mengatakan hal itu. Aku masihmengingat kalimat aneh itu. Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak sepertiyang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kitaduga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yang hilang.” Ali diam sejenak, mencoba memahami pesan tersebut. “Bumi” 158 ”Memangnya kamu paham, Ali?” celetuk Seli. Kami menatap Seli. Ali menoleh, konsentrasinya terganggu.”Maksudmu apa, Sel?” ”Maksudku, bukankah nilai bahasa Indonesia-mu lebih hancurdibanding nilai matematika Ra? Tugas mengarangmu jauh lebih burukdibanding anak kelas empat SD, bukan? Bagaimana kamu akan tahumaksudnya?” Seli menjawab datar, sambil nyengir lebar. Wajah Ali terlihat sebal. Aku hampir tertawa. Ya ampun! Seli telaksekali menyindir si biang ribut ini. Aku tidak pernah menduga kami akanakrab dengan Ali, si genius ini. Dulu, jangankan berteman,memikirkannya saja sudah amit-amit. Lihatlah sekarang, Seli nyengirtanpa dosa mengatakan kalimat itu, seolah Ali sahabat lama yang tidakakan tersinggung. Kami bertiga saling tatap. Wajah kami cemong, rambut awut-awutan, seragam berdebu, lengan lecet, badan masih terasa sakit. Akuakhirnya tertawa pelan. Disusul Seli yang tertawa pelan sambil Ali dia batal marah. Kami sejenak tertawa lega. Kejadian barusan,meski masih gelap penjelasannya, entah akan menuju ke manasemuanya, telah membuat kami jadi teman baik. Teman yang salingmelindungi dan peduli. Tiba-tiba Ali mengangkat tangannya. Tawa kami terhenti. ”Aku tahu apa yang harus dilakukan. Kamu harus menghilangkanbuku ini, Ra,” Ali berkata serius. ”Apa? Menghilangkannya?” Itu tidak masuk akal. Gila. Tadi malam aku sudah menghilangkannovel, bangku, flashdisk, dan benda-benda lain, tidak satu pun yangkembali. Kami bisa kehilangan satu-satunya cara untuk memperolehpenjelasan kalau buku PR ini juga lenyap tak berbekas. “Bumi” 159 ”Ayo, Ra. Lakukanlah. Itulah maksud pesan Miss Selena, apa punyang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga,” si genius itujustru berkata yakin sekali. ”Bagaimana kalau jadi hilang betulan?” Seli ikut cemas. ”Tidak akan. Si tinggi kurus menyebalkan itu di aula juga bilang, Ratidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah hilang di dunia ini.” DahiAli berkerut, dia tampak berpikir. ”Itu pasti ada maksudnya, bukan?Sesuatu yang sudah hilang…. Kita tidak punya cara lain. Kita harus tahusegera apa yang sebenarnya terjadi. Miss Selena, apa pun kondisinya, saatini butuh bantuan. Buku ini bisa memberikan jalan keluar.” Aku menelan ludah. Menatap Ali yang sekarang meletakkan bukuPR matematikaku di atas meja belajar, mempersilakanku. Baiklah, Ali benar. Aku menatap buku PR itu, mengacungkanjemari, berseru dalam hati. Menghilanglah! Buku PR itu lenyap. Aku menahan napas, juga Seli di sebelahku. Satu detik berlalu. Tidak terjadi apa pun. Dua detik, empat detik,aku menoleh ke Ali. Bagaimana ini? Ali tetap menunggu dengan detik. Aduh, bagaimana kalau keliru? Seli ikut menatap pula kami harus percaya pada genius biang kerok ini? Suara seperti gelembung air meletus terdengar. Buku PR-kukembali. Aku dan Seli berseru tertahan, seruan gembira. ”Apa kubilang.” Ali mengepalkan tangan. ”Buku PR ini pasti muncullagi. Miss Selena sudah membuat buku PR-mu menjadi benda dari dunialain. Tidak bisa dihilangkan.” Aku menoleh ke Ali. ”Bagaimana kamu bisa yakin sekali?” Si genius menyebalkan itu menunjuk kepalanya sambil nyengirlebar. Maksud dia apa lagi kalau bukan aku punya otak brilian. Baiklah, “Bumi” 160sepertinya Ali memang pintar. Aku melangkah mendekati meja belajar,menatap buku PR-ku yang kembali muncul. Tapi itu bukan buku PR-ku. Aku sama sekali tidak mengenalinyalagi. Ukuran dan bentuknya memang sama persis, seperti buku PR-ku,tapi hanya itu yang sama. Sisanya berbeda sekali. Tidak ada lagi sampulHello Kitty. Sampulnya berwarna gelap terbuat dari kulit, dengan gambarbulan sabit cetak timbul. Seperti ada sesuatu dengan gambar bulan sabit itu, bekerlap-kerlip. Ali meloncat ke dinding kamar, menutup semua daun jendela,menarik gorden, mematikan lampu, memastikan tidak ada lagi cahayayang masuk. Apa yang sedang dilakukannya? Ali kembali ke sebelahku, menunjuk ke atas meja belajar. Gambarbulan sabit di sampul buku PR-ku mengeluarkan sinar, terlihat indah dikamarku yang remang. ”Ini keren sekali. Kamu yang buka, Ra,” Ali berbisik. Suaranyaterdengar antusias. ”Kenapa harus aku?” aku bertanya. ”Ladies first.” Ali nyengir lebar. Aku melotot padanya. ”Eh, maksudku, ini jelas bukan buku PR biasa lagi, Ra. Ini bendadari dunia lain, atau entahlah.” Ali menggaruk kepalanya, berusahamembela diri. ”Jadi, eh, lebih baik kamu yang menyentuhnya. Kamusepertinya yang punya urusan dengan dunia lain itu.” Seli memegang lenganku, menghentikan perdebatan. Selimenunjuk buku di hadapan kami. Buku itu bersinar semakin terang. Bulan sabitnya seolah terlepasdari sampul buku. Terlihat mengambang indah. Aku menelan ludah “Bumi” 161menatapnya. Seperti ada suara yang memanggilku, menyuruhkumenyentuh buku itu. Tanganku terulur gemetar. Baiklah, aku akan melakukannya. Apapun yang terjadi, aku tidak sempat memikirkannya lebih baik. Sampul buku terasa lembut di jemariku. Tidak ada yang terjadi. Aku menoleh ke arah Ali. Ali mengangguk. ”Buka saja, Ra.” Belum sempat aku menggerakkan sampul buku, sinar dari gambarbulan sabit merambat ke telapak tanganku, terus naik ke pergelangantangan, lengan, dan bahu. Aku menahan napas. Sinar itu terasa hangat,dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhku, dan terakhir tiba di tubuhku terbungkus sinar dari buku. Aku menatap ke cerminmeja belajar. Wajahku terlihat cemerlang, persis seperti wajah Miss Selenadi aula tadi. Seli yang berdiri di belakangku menahan napas. Ali menatapsemangat, seperti melihat hasil reaksi praktikum fisika yang menarik—sigenius ini benar-benar berbeda dibanding siapa pun. Rasa ingin tahunyamengalahkan kecemasan atau ketakutan. Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebihkencang dari biasanya. Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidakada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba akuberseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah bukan kamarku, bahkan ini entah ruangan apa. Tempat tidurnyamenggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyalaterang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisadisebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambaryang ganjil. Semua terlihat berbeda. ”Kita ada di mana?” Seli ikut memeriksa sekitar, bertanya cemas. Aku menggeleng tidak tahu. Cahaya yang membalut sekujurtubuhku hilang. Buku PR di atas meja—kini meja itu terlihat aneh “Bumi” 162sekali—juga berhenti mengeluarkan sinar, teronggok seperti buku biasadengan sampul bulan sabit. Sebelum kami sempat menyadari apa pun, terdengar suarabercakap-cakap di luar, dengan bahasa yang tidak kumengerti. Kami bertiga saling tatap, jelas sekali suara itu menuju ke tempatkami. Pintu berbentuk bulat didorong—aku belum pernah melihat pintuseaneh itu. Tiga orang melangkah masuk ke dalam ruangan. Dua orangdewasa setengah baya dan satu anak laki-laki berusia empat mengenakan baju gelap yang ganjil. Si kecil terlihat menguap,memeluk boneka yang lagi-lagi berbentuk aneh. Ibunya, sepertinya begitu,tersenyum, menunjuk ke ranjang. Ayahnya, sepertinya juga begitu,berkata dengan kalimat-kalimat yang tidak kami pahami. Mereka mereka bertiga lebih aneh dibanding film-film fantasi mana pun. Langkah si kecil terhenti. Dia berseru bingung, menunjuk lebih kaget lagi. Kami berenam saling tatap. Si kecilketakutan, refleks memeluk ibunya. Ini jelas bukan kamarku, sama sekali bukan. Bahkan aku mulairagu, ini bahkan tidak akan pernah ditemukan di kota kami. Semuaterlihat ganjil. Apakah aku berada di dunia mimpi? Ayah si kecil maju, bicara dengan kalimat aneh. Sepertinya diabertanya kepada kami. Wajahnya bingung, menyelidik. Seli merapat kepadaku. Ali tetap mematung di tempat. Dia sempatmemasukkan buku PR matematikaku ke dalam tas ranselnya sebelumtiga orang tersebut masuk. Ayah si kecil berseru-seru. Dia tidak terlihat marah. Dia lebihterlihat kaget. Si kecil masih memeluk erat ibunya. Aku menelan ini? Sang ayah melangkah lebih dekat, menatap kami bertigabergantian, menoleh kepada istrinya, berkata-kata dengan kalimat anehlagi. Sepertinya dia bilang pada istrinya, ”Lihatlah, pakaian mereka anehsekali. Siapakah tiga anak ini? Apakah mereka tersesat? Bagaimana “Bumi” 163mereka masuk ke dalam rumah kita? Apakah kita perlu memanggilpetugas keamanan?” Sambil masih memeluk si kecil, istrinya ikut maju, menyelidik,menatap kami bertiga. Wanita itu menggeleng. Dia berkata, ”Sepertinyatiga anak ini sama bingungnya, kasihan sekali. Tidak ada yang perludicemaskan, mereka sepertinya tidak berbahaya. Apakah mereka dari luarkota, salah masuk ke dalam rumah karena tidak terbiasa? Atau karenajaringan transportasi kembali bermasalah?” Pasangan baya itu masihberbicara satu sama lain. Si kecil memberanikan diri mengintip kami. Aku tiba-tiba terdiam. Eh? Aku? Entah bagaimana caranya, akusepertinya mengerti kalimat yang mereka katakan. Hei! Aku sepertinyatahu apa yang sedang mereka diskusikan. ”Maaf,” aku berkata pelan, mengangkat tangan. Pasangan itu menoleh. ”Maaf, kami tidak salah masuk kamar.” Aku menggeleng. ”Tadi kamiberada di kamarku, di rumahku, lantas tiba-tiba saja kami sudah pindahke kamar ini.” Ayah si kecil mendekat. ”Apakah kalian sebelumnya sedangmenggunakan lorong berpindah?” Aku menoleh kepada Ali. ”Eh, Ali, lorong berpindah itu apa? Apakahitu istilah fisika modern?” Yang kutoleh jangankan menjawab. Ali danSeli bahkan bingung melihatku kenapa bisa bicara dengan bahasa anehitu. ”Kalian sepertinya mengalami kekacauan sistem lorong berpindah.”Ayah si kecil menghela napas prihatin. ”Minggu-minggu ini frekuensinyasemakin sering terjadi. Tapi setidaknya kalian muncul di kamar anakku,tidak serius. Tiga hari lalu, istriku yang hendak pergi ke pasar tiba-tibamuncul di atas wahana kereta luncur. Gila sekali, bukan? Dia tidakmuncul di depan pedagang sayur, tapi di tengah orang-orang yang sedangmenjerit ketakutan.” Aku menelan ludah, mengangguk, pura-pura mengerti. “Bumi” 164 ”Kamu temani si kecil tidur, Ma. Aku akan membantu tiga anakmalang ini. Tidur bareng Mama, ya? Papa akan menemani tiga kakak-kakak itu.” Lelaki itu bicara pada istri dan anaknya. Ibu si kecil menuntun anaknya ke tempat tidur yang menggantungdi dinding. Bentuknya sama seperti ranjang umumnya, tetapi berada duameter di dinding. Saat si kecil mendekat, tempat tidur itu turun dan si kecil naik ke atasnya. Ranjang itu kembali naik. ”Ayo, lambaikan tangan ke kakak-kakak. Selamat malam.” Ayah sikecil tersenyum. Si kecil beranjak ke pinggir ranjang, melambaikan tangan kepadakami. ”Selamat malam.” Aku mengangkat tangan, balas melambai. Seli dan Ali, meskibingung, meniruku segera, ikut melambaikan tangan. ”Ayo, kalian ikuti aku.” Ayah si kecil sudah menepuk pundakku,berkata ramah. Aku masih bingung dengan ini semua. Susul-menyusul sejakkejadian meledaknya gardu listrik tadi siang. Sekarang, bahkan kamiberada di mana aku tidak tahu. ”Semua orang sudah membicarakan kekacauan sistem transportasiini. Tapi tidak ada tanggapan serius dari Komite Kota. Mereka selalubilang itu hanya masalah teknis kecil.” Ayah si kecil membuka pintubulat, menyilakan kami keluar kamar. ”Kamu mau mendengar dongeng?” Di belakang kami, ibu si kecilberkata pelan. ”Aku ingin mendengar dongeng tentang Si Burung SiangMerindukan Matahari, Ma,” si kecil menjawab riang. ”Aduh, dongeng itu lagi, Nak? Sudah seminggu terakhir kamumendengarnya, bukan? Tidak bosan?” ibunya bertanya lembut, tertawa. Aku melangkah menuju pintu bulat. “Bumi” 165 Seli memegang lenganku, berbisik, ”Kita akan ke mana, Ra?” ”Aku tidak tahu,” aku menjawab pelan. ”Apakah mereka sama jahatnya dengan si tinggi kurus di aulasekolah tadi?” Aku menggeleng, selintas lalu mereka hanya keluarga biasa yangbahagia, dengan anak kecil usia empat tahun. Sang ayah menutup pintubulat kamar, melangkah ke lorong remang. ”Coba saja kalau mereka sendiri yang hendak berangkat bekerjatiba-tiba muncul di depan seekor binatang buas yang sedang membukamulut, pasti baru tahu betapa menyebalkannya masalah teknis kecil ini,”ayah si kecil masih berseru santai, memimpin jalan di depan. Kamimelewati lorong, kemudian muncul di ruangan lebih besar. Sepertinya ini ruang tengah sebuah rumah. Ada sofa-sofa bundaryang melayang satu jengkal dari lantai. Sebuah meja tampak berbentukjanggal, jauh sama sekali dari segi empat atau persegi panjang, dan diatasnya ada sebuah vas bunga. Aku mengembuskan napas, setidaknyabunga di vas aneh itu bentuknya sama seperti yang kukenali, terlihatsegar. Entah di mana pun kami sekarang berada, itu bunga mawar sepertipada umumnya. “Bumi” 166 ILAKAN duduk. Anggap saja rumah sendiri. Jangan haus? Akan kuambilkan minuman. Kondisi kalian terlihat kotor, dan astaga, pakaian kalian aneh sekali. Kalian pastidatang dari tempat jauh. Tidak akan ada anak remaja kota ini yang mauberpakaian seperti ini, seperti model seratus tahun lalu. Sebentar, akankuambilkan air minum dan handuk basah.” Ayah si kecil tertawa. Diamelangkah menuju pintu bulat lainnya, meninggalkan kami bertiga diruang tengah. Senyap sebentar. ”Kita ada di mana, Ra?” tanya Ali. ”Aku tidak tahu.” ”Apakah orang aneh tadi menyebutkan nama tempat ini?” Aku menggeleng pelan. ”Bagaimana kamu bisa bicara bahasa mereka?” Seli memeganglenganku, tampak penasaran. ”Aku tidak tahu, Sel. Aku tahu begitu saja.” Aku menyeka wajahyang berdebu. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa kujawab sekarang. Ali bergumam sendiri, berhenti menumpahkan pertanyaan. Diamemilih memperhatikan sekitar, lalu beranjak hendak duduk di sofa bulatyang melayang di dekat kami. Dia meloncat. Sofa itu seketika berputarsaat didudukinya. Ali tergelincir, tangannya hendak meraih sesuatu, tapiterlambat. Dia jatuh ke lantai, mengaduh pelan. ”Ini tempat duduk yang aneh sekali.” Ali berdiri, menatap sofa yangberhenti berputar, kembali ke posisinya semula. Si genius keras kepala itumencoba dua kali untuk duduk di sofa bulat, tapi dua kali pula diaterjatuh. “Bumi” 167 Aku dan Seli menonton, diam. ”Baiklah. Aku tidak akan menyerah.” Ali bersungut-sungut. Kali inidia menatap baik-baik sofa bulat di depannya, memegangnya perlahan,lantas naik perlahan, menjaga keseimbangan. Ali nyengir lebar. Diaberhasil. ”Kalian mau mencobanya?” Ali berseru riang. ”Ini persis sepertibelajar naik sepeda. Sekali kita terbiasa, maka mudah saja.” Aku dan Seli saling tatap. ”Ayo, coba saja, Ra, Seli, ini seru sekali. Kalian tahu, entahbagaimana mereka melakukannya, sofa ini benar-benar melayang di ataslantai. Ini hebat sekali. Bahkan kupikir, lembaga paling canggih macamNASA Amerika sekalipun tidak punya teknologi ini.” Ali mencoba sofabulat itu berputar. Dia berhasil membuatnya bergerak mulus. Ali tertawasenang. ”Apa yang kamu lakukan?” aku berbisik mengingatkan Ali. Kami jelas tidak sedang study tour, kami sedang tersesat. Sifat Aliyang selalu santai kemungkinan bisa berbahaya. Si genius itu sekarangbahkan asyik mencoba sofa bulat yang dia duduki, bergerak naik-turun. Ali menatapku dengan wajah tanpa dosa. ”Maaf membuat kalian menunggu.” Ayah si kecil kembali, terlihatriang, membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya, juga tiga handukbasah. ”Oh, kamu sudah mencobanya? Bagaimana? Itu jenis sofa palingmutakhir.” Lelaki itu tertawa melihat Ali bergegas menurunkan sofanyakembali ke posisi semula—Ali terlihat sedikit panik, karena ketahuanmenaik-turunkan sofa tersebut tanpa izin pemiliknya. ”Dia bertanya apa?” Ali berbisik kepadaku. ”Dia bilang, kamu tamu yang sama sekali tidak tahu sopan santun,”aku menjawab asal. “Bumi” 168 ”Sungguh?” Ali menatapku tidak percaya. ”Silakan diminum.” Ayah si kecil mengangguk ramah kepada kami. Aku menatap gelas aneh yang lebih mirip sepatu kets. Baiklah, akumeraih gelas terdekat, mengangkatnya. Isinya air bening biasa, setidaknyaterlihat begitu. Aku menenggaknya. Ternyata rasanya segar sekali. Seli menatapku ragu-ragu. Aku mengangguk kepadanya. Tidak adayang perlu dicemaskan. Itu hanya air bening biasa, bahkan setelahberbagai kejadian tadi, menghabiskan air sebanyak satu gelas berbentuksepatu terasa melegakan. ”Namaku Ilo, siapa nama kalian?” ayah si kecil bertanya, sambilmenyerahkan handuk basah. Aku menjawab sopan, menyebut namaku, Seli, dan Ali. Lelaki itu menggeleng. ”Nama kalian terdengar aneh. Kalian berasaldari mana?” Aku menelan ludah, ragu-ragu menyebutkan nama kota kami. Selidan Ali di sebelahku sudah menghabiskan minum mereka. Kini merekasedang membersihkan wajah dan sekujur badan dengan handuk. Ilo, demikian nama ayah si kecil itu, lagi-lagi menggeleng. Wajahnyatermangu. ”Belum pernah kudengar nama kota seperti itu. Kaliansepertinya tersesat dari jauh.” ”Kami sekarang berada di mana?” aku balik bertanya, teringatpertanyaan Seli dan Ali sejak tadi. Kenapa tidak kutanyakan saja kepadaorang berpakaian gelap ini. ”Kota Tishri.” ”Kota Tishri?” aku mengulanginya. ”Benar sekali, Kota Tishri. Kota paling besar, paling indah. Tempatseluruh negeri ingin pergi melihatnya. Nah, apa kubilang tadi, setidaknya “Bumi” 169kabar baiknya, lorong berpindah sialan itu membawa kalian pernah ke Kota Tishri?” Aku menggeleng. Seli dan Ali tetap termangu, tidak mengertipercakapan. ”Fantastis.” Ilo mengepalkan tangan, berseru riang. ”Ayo, kalianikuti aku. Akan kutunjukkan pemandangan menakjubkan kota ini. Kalianpasti sudah lama bercita-cita ingin melihatnya langsung. Selama inikalian hanya bisa menyaksikannya di buku, bukan? Astaga, kebetulansekali, ini persis bulan purnama, kota ini terlihat berkali-kali lebih indah.” Lelaki itu sudah berdiri. Malam bulan purnama? Bukankah tadi baru saja siang? ”Apa yang dia bilang, Ra?” Seli berbisik. ”Dia ingin menunjukkan kota ini kepada kita.” ”Buat apa? Bukankah kita setiap hari melihat kota kita?” Aku menggeleng. Entahlah. Aku juga tidak paham. ”Apa serunya melihat kota di siang hari?” Seli masih berbisik. Aku menghela napas perlahan. Sejak tadi aku punya firasat kamisama sekali tidak sedang berada di kota kami. Bahkan boleh jadi kamiberada di tempat yang amat berbeda. ”Ini pasti seru.” Ada yang tidak keberatan. Ali meloncat turun darisofa bulat. Ilo memimpin di depan, melewati pintu bulat, kembali ke lorongremang, dan tiba di depan anak tangga. Ilo rileks melangkah tangga itu berpilin naik sendiri saat kaki kami seperti eskalator pada umumnya, tapi anak tangga yangkupijak terbuat dari kayu berukir. Tiba di ujung anak tangga, ruangan atas tampak gelap. Sambilbersenandung, Ilo membuka pintu di langit-langit ruangan. Pintu itu “Bumi” 170terbuka. Cahaya lembut masuk ke dalam. Aku mendongak melihat keatas. Bintang gemintang terlihat terang. Ini malam hari? Bukankah...?Aku mengusap wajah, bingung. Sekarang pertanyaannya bertambah, bagaimana kami bisa keluarke atas sana? Bukankah pintu di langit-langit ruangan setinggijangkauan tangan Ilo? Tidak ada tangga lagi. Kami bertiga saling lirik,tidak mengerti. Ilo berdiri persis di bawah bingkai pintu. ”Ayo, kalian mendekat padaku.” Dia menoleh pada kami. Aku menelan ludah. Sudah kadung sejauh ini, tanpa banyak tanyaaku ikut mendekat. ”Ayo, jangan ragu-ragu. Lebih rapat.” Aku merapat di sebelahnya, juga Seli dan Ali setelah kuberitahuagar lebih rapat. Apakah kami akan melompat ke atas? Terbang? Ilo justru meraih daun pintu di atas, menariknya ke bawah. Daunpintu itu turun, pindah setinggi mata kaki kami. Kami seketika berada diatap bangunan. Ali, si genius di sebelahku, bahkan tidak mampumenahan diri untuk tidak berseru. Ilo tertawa. Dia melangkah kesamping, meninggalkan daun pintu yang terbuka, berdiri di atap. Akubergegas ikut melangkah, juga Seli, khawatir pintu itu tiba-tiba kembalike posisi di atas. ”Kamu tidak mau tertinggal di bawah sendirian, bukan?” Ilomenoleh ke Ali yang masih sibuk memeriksa. Wajah Ali ber caranya daun pintu ini bisa turun? Apakah seluruh atapbergerak ikut turun? Atau daun pintunya saja? Aku bergegas menarik lengan si genius itu agar melangkah ke atapbangunan. Setelah semua berdiri di atap, aku melongok ke bawah. Lantairuangan kembali terlihat jauh. Entah bagaimana caranya, daun pintusudah kembali ke posisi semula. “Bumi” 171 ”Selamat datang di Kota Tishri!” Ilo berseru lantang. Aku mendongak, mengangkat kepala menatap ke depan. Aku menahan napas, mematung. Itu sungguh pemandangan yangmembingungkan. Aku pernah diajak Papa dan Mama pergi ke restoran yang berada dilantai paling atas gedung paling tinggi di kota, melihat seluruh kota. Tapimalam ini, yang aku lihat jelas bukan kota kami. Tidak ada hamparangedung-gedung tinggi, tidak ada pemandangan yang kukenal. Punbangunan yang kami naiki, ini bukan rumah, bukan apartemen sepertikebanyakan. Bentuknya seperti balon besar dari beton, dengan tiang. Disekitar kami, ribuan bangunan serupa terlihat memenuhi seluruh lembah,persis seperti melihat ribuan bulan sedang mengambang di udara. Itulahpemandangan yang kami saksikan sekarang. ”Kita di mana?” Seli bertanya, suaranya bergetar bingung. ”Ini keren!” Ali berseru, suaranya juga bergetar antusias. Ini bukan kota kami. Bahkan jelas sekali, tidak ada kota di Bumiyang seperti ini. Tidak ada jalan di bawah sana, apalagi kendaraan sepertimobil dan motor. Hanya hamparan hutan—kalau itu memang hutanseperti yang terlihat dari atas sini. Bulan purnama menggantung di langit,terlihat lebih besar dibanding biasanya. Cahayanya lembut dan indah. Disisi barat kota terlihat gunung, bentuknya sama seperti gunung yang adadi kota kami, juga pantai di sisi timur, itu sama. Tapi hanya dua hal ituyang sama. Sisanya berbeda. Beberapa tiang tinggi terlihat di kejauhan. Setiap tiang memilikipuluhan cabang, dengan ujung cabang lagi-lagi sebuah balon besar daribeton, bersinar. Ilo menjelaskan dengan bangga tentang kotanya. ”Kota ini palingmaju, paling cemerlang. Kota ini juga paling efisien menggunakansumber tenaga yang semakin terbatas. Terlepas dari masalah teknis kecilyang sekarang sedang menimpa kalian, kami memiliki sistem transportasipaling baik. Kalian lihat di ujung sana, itu menara Komite Kota.” “Bumi” 172 Aku tidak terlalu mendengarkan. Kepalaku dipenuhi begitu banyakpertanyaan. Seli masih menatap dengan cemas ke seluruh arah. Diasempat berbisik, ”Kita tidak berada di kota kita lagi ya, Ra?” Aku mengangguk. ”Kita berada di tempat yang jauh sekali.” ”Bagaimana kita pulang?” Seli bertanya. Aku menggeleng. ”Entahlah.” Wajah Seli sedikit pucat. Hanya Ali yang terlihat tenang, menatap sekitar dengan semangat. ”Besok malam adalah malam karnaval festival tahunan. Jika kalianmenunggu sehari saja, kalian bisa menyaksikan festival terbesar. Seluruhkota dipenuhi pelangi malam hari. Semua bangunan tersambung olehkabel yang dipenuhi lampu warna-warni. Putraku yang berusia empattahun tidak sabar menantikannya.” Ilo membentangkan tangan, masihasyik menjelaskan. Angin berembus lembut, menerpa wajah, memainkan anak mendongak menatap langit. Kami ada di mana? Gunung, pantai,sungai, juga posisi bulan dan bintang sama persis seperti di kota sisanya berbeda. Bangunan rumah seperti balon? Hampir setengah jam kami berada di atap bangunan. Hingga Ilodiam sejenak, berkata, ”Sudah larut malam. Kita sebaiknya turun. Kalaukalian mau, malam ini kalian bisa menginap di tempatku. Ada kamarkosong. Tidak terlalu lapang untuk bertiga, tapi cukup nyaman. Besokpagi-pagi aku akan membantu mengirim kalian pulang ke rumah.” Kami bertiga tidak berkomentar. Aku mengangguk. Ilo membungkuk. Dia membuka daun pintu di atap. Lantai ruangandi bawah terlihat mendekat. Dia menyuruh kami melangkah bisa melangkah dengan mudah. Ilo melepas pegangan ke daunpintu. Daun pintu itu perlahan kembali ke atas. Langit-langit ruangankembali tinggi. Ilo menutup pintu. “Bumi” 173 ”Ini keren sekali, Ra,” Ali berbisik padaku. ”Jika semua pintu bisaditarik begini, di sekolah kita tidak perlu repot ke mana-mana. Tarikpintunya mendekat, kita tinggal melangkah masuk atau keluar, beres.” Aku tidak menanggapi celetukan Ali. Ilo memimpin di depan. Kami diantar menuju pintu bulat di loronglain. Itu kamar yang besar. Dua kali lebih luas dibanding kamar si kecil. ”Kalian bisa menggunakan kamar ini. Ada beberapa pakaian yangbisa kalian gunakan di lemari. Beberapa sepertinya cocok. Ini dulu kamarsi sulung. Dia masuk akademi di kota lain. Usianya delapan belas. Jikakalian butuh sesuatu, kamarku berada di ujung lorong satunya. Selamatmalam, anak-anak.” ”Selamat malam.” Aku mengangguk, menjawab sopan. Ilo menutup pintu, meninggalkan kami. “Bumi” 174 AMAR itu lengang sejenak. Isinya kosong karena lama tidakditempati. Hanya ada ranjang besar di dinding, satu sofa melayang, dansatu lemari berbentuk lebih mirip botol air mineral raksasa. Ali sempatmelihat isi dalam lemari, mengeluarkan beberapa pakaian gelap yanglengket di tangan. Aku dan Seli menggeleng, lebih baik tetap mengenakanseragam sekolah kotor dibanding pakaian lengket ini. Ali sebaliknya. Dia mencoba memakai salah satu pakaianberbentuk jaket yang kebesaran. Saat dikenakan, pakaian lengket ituseolah bisa berpikir sendiri, mengecil dengan cepat, lantas menempelsempurna ke seluruh tubuh. ”Wow!” Ali berseru terpesona—bahkan diabergaya di depan cermin, menggerakkan tangannya yang tertutup jaket.”Lentur, ringan, dan lembut di badan.” Ali nyengir lebar, seperti bintangiklan detergen di televisi. Melihat Ali dengan pakaian aneh itu, setidaknya aku tahu jenispakaian yang dikenakan Tamus dan delapan orang di aula tadi. Akumenghela napas, beranjak duduk sembarang di lantai. Aku tidak maududuk di sofa yang bisa melayang, atau ranjang yang bisa lantai kayu yang kududuki terlihat normal. Seli ikut duduk disampingku. Ali, lagi-lagi sebaliknya, si genius itu sudah meloncat santaike atas sofa melayang. Dia sudah terampil, tidak tergelincir. ”Apa yang kita lakukan sekarang, Ra?” Seli berbisik. ”Aku tidak tahu,” aku menjawab pendek. Seli menghela napas, bergumam, ”Ini benar-benar mungkin sekarang sudah malam? Bukankah baru satu-duajam lalu kita dari aula sekolah?” ”Entahlah, Sel. Aku juga bingung.” ”Kita tidak bisa menginap di bangunan aneh ini, Ra. Kalau kitaterlalu lama di kota ini, kita jelas terlambat pulang ke rumah. Orangtua “Bumi” 175kita pasti cemas, dan mulai panik mencari ke mana-mana,” Seli berkatapelan, meluruskan kaki. Aku menoleh. Seli benar. Apalagi dengan kejadian meledak danterbakarnya gardu listrik, ditambah lagi bangunan kelas dua belas yangambruk. Pertemuan Klub Menulis pasti dibatalkan. Orangtua muridsegera mencari tahu kabar anak-anak yang belum pulang. Saat Mamatidak menemukanku di sekolah, Mama akan panik, seluruh keluargaakan ditelepon, siaga satu—bahkan jangan-jangan Mama akan memaksaTante Anita memasang iklan kehilangan di televisi. Aku mengeluh,menggeleng membayangkan hal menggelikan itu. Kasihan Mama, belumlagi masalah Papa di kantor. Kenapa semuanya jadi kusut begini? ”Masalahnya, kalaupun mereka mencari kita, mereka akan mencarike mana?” Ali mendekat—tepatnya sofa yang dinaiki Ali yang mendekat,melayang di depan kami. ”Mereka akan meminta bantuan polisi?Detektif? Aku berani bertaruh, bahkan agen rahasia macam FBI pun tidaktahu di mana kota ini berada.” Kami menatap si genius itu, tidak mengerti. ”Saat di atap bangunan balon tadi, aku memperhatikan sekitarsecara saksama. Kalian tahu, aku hafal posisi kota kita, hafal letak bulan,bintang.” Ali menunjuk kepalanya—maksudnya apa lagi kalau bukan diapunya otak brilian. ”Aku tahu letak gunung, pantai, sungai, semua konturkota kita. Kalian tahu, ada sesuatu yang menarik sekali.” Kami menatap Ali tanpa berkedip. ”Mereka akan mencari kita di kota mana, kalau ternyata kita persisberada di kota kita sendiri?” Ali mengangkat bahu. ”Aku tidak mengerti, Ali,” Seli memastikan. ”Kita tidak ke mana-mana, Seli. Aku yakin sekali. Ini tetap kotakita, hanya entah kenapa seluruh rumah, bangunan, gedung tinggi dikota kita berganti dengan hutan dan balon-balon beton raksasa. Bahkansaat ini, kemungkinan kita sedang berada di salah satu ruangan rumahRa. Entah di ruang tengah atau ruang tamu.” “Bumi” 176 ”Tapi… tapi bagaimana dengan...” Seli menunjuk sekeliling kami. ”Itulah yang membuat semua ini menarik.” Ali bersedekap,bergaya seperti profesor fisika terkemuka. ”Kita berada di tempat yangsama, tapi dengan sekeliling yang amat berbeda. Bahkan orang-orangyang berbeda.” ”Kamu sebenarnya hendak bilang apa sih?” Aku akhirnya bertanya,tidak sabaran. Tidak bisakah dia menjelaskan lebih detail? Denganbahasa yang lebih mudah dimengerti. Ali mengangguk. Dia meloncat turun dari sofa melayang,mengeluarkan buku tulis dari ransel yang selalu dia bawa ke mana-mana, mengambil bolpoin. ”Kalian perhatikan.” Ali membuka sembarang halaman kosong. Diamulai menggambar. Aku dan Seli tahu apa yang sedang dia gambar, sebuah lapanganfutsal. Lantas, Ali menggambar lagi sebuah lapangan bulu tangkis di ataslapangan futsal tersebut, juga lapangan basket. Terakhir sebuah lapanganvoli. Empat lapangan itu bertumpuk di atas kertas. Ali menggambarbingkai di sekeliling kertas. ”Ini persis seperti aula sekolah kita, bukan? Ada empat lapanganolahraga di atas lantainya.” Ali menatapku dan Seli bergantian. Aku dan Seli mengangguk. ”Nah, aku hanya menduga, bisa jadi keliru, tapi kemungkinanbesar tepat, inilah yang sedang terjadi di sekitar kita. Dunia ini tidaksesederhana seperti yang dilihat banyak orang. Aku percaya sejak dulu,bahkan membaca lebih banyak buku dibanding siapa pun karenapenasaran, ingin tahu. Bumi kita memiliki kehidupan yang rumit. Danhari ini aku menyaksikan sendiri, ada sisi lain dari kehidupan selain yangbiasa kita lihat sehari-hari. Dunia lain. ”Kalian perhatikan aula sekolah kita. Ada empat lapangan olahragadi atasnya, bukan? Jika kita ingin bermain futsal, pasang tiang “Bumi” 177gawangnya. Jika kita ingin bermain basket, tarik tiang basketnya. Maka diBumi, bisa jadi demikian, ada beberapa kehidupan yang berjalan diatasnya. Berjalan serempak di atasnya.” ”Tapi kita tidak bisa bermain voli, basket, badminton, dan futsalserempak di aula, Ali.” Seli menggeleng. ”Akan kacaubalau, pemainbertabrakan, bolanya lari ke mana-mana.” ”Itu benar.” Ali mengangguk. ”Tapi bukan berarti tidak mung jelas lebih besar dibanding aula sekolah. Saat kapasitasnya besar,Bumi bisa berjalan tanpa saling ganggu. Persis seperti sebuah komputeryang membuka empat atau lebih program. Bukankah kita bisamenjalankannya bersamaan? Membuka internet, membuka dokumen,membuka pemutar musik, dan mengedit foto sekaligus? Ada banyakprogram yang berjalan serentak tanpa saling ganggu. Kecuali jikakomputernya terbatas, bisa hang atau error. ”Aku yakin sekali, beberapa sisi kehidupan di Bumi bisa berjalanserentak tanpa saling ganggu, berantakan, dan bolanya lari ke mana-mana. Setidaknya aku sudah menyaksikan dua sisi. Sisi pertama,kehidupan di Bumi seperti yang kita jalani selama ini. Sisi kedua, kotaaneh ini, bangunan aneh ini, dan semua benda yang aneh di sekitar sisi itu berada di satu Bumi, berjalan tanpa saling memotong.” Ruangan itu senyap sejenak. ”Kalau hal itu memang ada, kenapa selama ini tidak ada orang yangmengetahui bahwa ada dunia lain tersebut di Bumi?” Seli bertanya lagi. ”Yang pertama karena dua dunia itu terpisah sempurna. Yangkedua, karena kita terbiasa dengan kehidupan sendiri. Jika seseorangsibuk bermain futsal di aula sekolah, lantas yang lain sibuk bermainbasket, mereka hanya sibuk dengan permainan masing-masing, tanpamenyadari ada dua permainan berjalan serentak. Nah, kalaupun ada yangtahu, mereka hanya bisa menduga, bilang mungkin ada alam gaib ataudunia lain di luar sana. Tapi mereka tidak pernah mampumenjelaskannya.” Ali menjelaskan dengan intonasi yakin. ”Kalau begitu, ada berapa sisi kehidupan yang berjalan serempakdi Bumi?” aku akhirnya membuka mulut. Sebenarnya penjelasan Ali sama “Bumi” 178sekali tidak masuk akal. Tapi aku tidak tahu harus bagaimanamembantahnya. Aku memutuskan bertanya. ”Tidak tahu. Yang pasti, sosok tinggi kurus di aula tadimenyebutku Makhluk Tanah’, orang-orang lemah. Itu satu. Dia pastimerujuk penduduk Bumi saat ini. Dia juga menyebut Seli dengan sebutanKlan Matahari yang berjalan di atas tanah. Itu dua. Terakhir tentu sajadunia yang kita lihat sekarang. Aku tidak tahu namanya, kita sebut sajaKlan Bulan, karena di mana-mana ada Bulan termasuk bangunan balonini. Itu berarti tiga. Mungkin masih ada lagi dunia lain yang berjalanserentak, tapi aku tidak tahu. ”Dan aku tahu kenapa kamu bisa mengerti dan berbicara dalambahasa mereka, Ra. Sosok tinggi kurus menyebalkan itu berkali-kalibilang kamu tidak dimiliki dunia Bumi, bukan? Kamu dimiliki dunia kitasekarang berada. Itu masuk akal. Aku tidak tahu penjelasan detailnya,sepertinya kamu menguasai begitu saja bahasa mereka.” Ali mengangkatbahu. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Entahlah,apakah aku bisa memercayai penjelasan si genius ini. ”Kalian tahu, ini keren. Bahkan Einstein tidak pernah bisamembayangkan ada dunia paralel di sekitarnya. Dia hanya bisamenjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Einstein mungkin saja benar,imajinasi adalah segalanya, lebih penting dibanding ilmu menyaksikan sendiri semua ini, mengetahui pengetahuan tersebut,lebih dari segalanya.” Ali nyengir. Aku bersandar ke dinding kamar, membiarkan si genius itu senangsendiri. ”Fisikawan, astronom, ahli matematika terkemuka Galileo Galileihanya bisa membuktikan teori Heliosentris Copernicus. Entah bagaimanareaksinya jika mendengar ada dunia lain berjalan serempak di atas dia akan seperti pendukung teori Geosentris, kaum fanatiktidak berpengetahuan, tidak percaya.” “Bumi” 179 ”Buku PR matematikamu, Ra.” Seli teringat sesuatu, memotongkesenangan Ali. Aku menoleh kepada Seli. ”Bukankah kita bisa masuk ke dunia ini karena buku PRmatematikamu tadi?” Seli berseru. ”Kita bisa kembali lagi ke kota kitadengan cara yang sama.” Seli benar. Aku bergegas hendak berdiri, mengeluh. Bukankahbuku itu tadi tertinggal di kamar si kecil? Karena kami telanjur bagaimana mengambilnya sekarang? Ali membuka tas ranselnya. ”Aku sudah membawanya, Ra.” Aku dan Seli menghela napas lega. ”Aku khawatir, kalian akan meninggalkan banyak benda jika tidakada yang berpikir dua langkah ke depan.” Ali tersenyum bangga. Aku menerima buku PR matematika dari Ali. Semangatmeletakkannya di lantai kayu, menelan ludah, menatap buku itu,bersiap. ”Ayo, bersinarlah lagi,” aku berbisik. Satu menit berlalu tanpa terjadi sesuatu. ”Sayangnya, buku ini hanya buku biasa sekarang, Ra.” Alimengembuskan napas pelan. ”Aku sudah memikirkan kemungkinan itutadi, sempat mengintip ke dalam tas ransel saat kita berada di atapbangunan balon. Buku ini tidak mengeluarkan sinar apa pun lagi.” Lengang. Buku itu tergeletak di lantai. Gambar bulan sabit disampulnya tidak bersinar. Seli menatap amat kecewa. ”Bagaimana kita pulang, Ra?” Aku menatap Ali. Dia si geniusnya. Ali bangkit berdiri. ”Kita akan menemukan caranya. Mungkin tidakmalam ini. Tapi cepat atau lambat kita akan menemukan caranya. Setiapada pintu masuk, selalu ada pintu keluar.” “Bumi” 180 “Bumi” 181 KU memeluk Seli yang menangis, menghiburnya, bilang semua akanbaik-baik saja, termasuk di kota tempat kami entah berada di juga akan baik-baik saja. Semoga orangtua kami tidak bereaksiberlebihan. Sebenarnya aku juga butuh dihibur. Aku cemas sekali memikirkanMama di rumah, tapi siapa yang akan menghiburku? Jelas Ali tidak akanmenghibur siapa pun. Anak itu memutuskan tidur. Ali berkata denganintonasi datar, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, sebaiknyaberistirahat, menyimpan energi buat besok. Aku tahu, apa yang dilakukan Ali adalah pilihan paling rasio tidak ada yang bisa kami lakukan. Ini sudah larut, jam didinding yang meskipun bentuknya lebih mirip panci, tapi setidaknyasama dengan jam yang aku kenal, ada dua belas angka—jarumpendeknya telah menunjuk pukul dua belas. Aku menatap lantai kayulamat-lamat. Entah di mana pun kami berada, di dunia lain atau bukan,setidaknya malam ini kami punya tempat bermalam dengan tuan rumahyang ramah. Aku menolak tidur di atas ranjang. Ali yang memakainya setelahmenurunkan bantal-bantal, seprai, dan selimut. Ranjang itu segerabergerak ke langit-langit kamar. Ali di atas sana sempat berseru, bilangbetapa ajaib kasurnya, bisa menyesuaikan diri dengan kontur badan, jugalangit-langit persis di atas kepalanya mengeluarkan cahaya lembut yangnyaman. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku menghamparkan sepraidan selimut di lantai, tidak lengket, seprainya tebal, empuk untukditiduri. Bantalnya juga menyenangkan, sama seperti kasur yangdiocehkan Ali di atas ranjang sana, mengikuti kontur kepala dan badansaat ditindih. ”Kamu harus tidur, Sel,” aku berbisik. Seli menyeka pipinya, mengangguk. ”Atau kamu butuh sesuatu untuk dimakan?” aku bertanyamemastikan. “Bumi” 182 ”Aku tidak lapar lagi, Ra.” Aku tersenyum. ”Besok kita akan pulang, dan segera ikut KlubMenulis Mr. Theo.” *** Tidur dalam situasi banyak pikiran memang tidak mudah. Tapidengan badan letih, sakit, ngilu, kami akhirnya jatuh tertidur, kemudianbangun kesiangan. Cahaya matahari menerobos daun jendela, menyinariwajah. Aku segera membuka mata. Ada yang sudah membuka gorden,bahkan sekaligus membuka jendela. Udara pagi yang segar terasa lembutmenerpa wajah. Aku beranjak berdiri, memeriksa sekitar. Seli masih meringkuktidur, sepertinya dia yang terakhir jatuh tertidur tadi malam. Ranjang didinding kosong. Ali tidak ada. Aku melangkah ke jendela, menatap keluar. Kalau saja akumengerti apa yang sedang terjadi, ini sebenarnya pemandangan yangfantastis. Tiang-tiang tinggi dengan bangunan berbentuk balon berwarnaputih memenuhi lembah. Jauh di bawah sana, di dasar lembah,hamparan hutan lebat, memesona, dengan rombongan burung belum pernah melihat hutan seindah ini, sejauh mata memandang. ”Kamu sudah bangun, Ra?” Aku menoleh. Ali keluar dari pintu bulat yang ada di kamar. ”Kamu harus mencoba mandi, Ra. Fantastis!” Ali tersenyum. Diasedang merapikan pakaian yang dia kenakan, menyisir rambutnya yangberantakan dengan jemari tangan—dan tetap berantakan meski berkali-kali dirapikan. ”Kamu habis mandi?” Aku menatap Ali. ”Apa lagi?” Ali tertawa, mengangkat bahu. ”Dan kamu harusmencoba pakaian yang ada dalam lemari. Lihat!” “Bumi” 183 Ali memamerkan pakaian yang dia kenakan. Tidak ada lagi seragamsekolah kotornya. Ali juga memakai sepatu baru. Seperti sepatu boothitam setinggi betis. ”Ini tidak seaneh seperti yang kamu lihat,” Ali meyakinkan.”Bahkan sebenarnya pakaian ini nyaman. Aku bisa bergerak bebas. juga amat lentur, seperti tidak memakai sepatu. Aku bisamenekuk jari kaki dengan mudah. Mungkin komposisi warnanya terlihataneh. Orang-orang di dunia ini sepertinya suka sekali warna gelap, tapiitu bukan masalah. Kamu tahu, Ra, tidak ada yang lebih penting daripakaian selain nyaman dipakai. Peduli amat dengan selera warna oranglain.” Aku mengembuskan napas. Sepertinya Ali sudah menyesuaikandiri dengan cepat di dunia lain ini. Dan sejak kapan dia peduli soalpakaian? Bukankah selama ini di sekolah dia selalu datang berantakan? Seli bangun mendengar percakapan kami. Aku menyapanya. Selimenjawab pelan. Wajahnya masih kusam. Sepertinya dia lebih sukasemua ini hanya mimpi buruk, terbangun di kota kami, dan semua mimpiburuknya hilang. Tapi mau bagaimana lagi? Bahkan aku tadi bangun,langsung harus melihat Ali yang tiba-tiba memperagakan pakaian,bergaya. Pintu bulat kamar ke arah lorong diketuk dari luar. Kami bertiga saling tatap. ”Apakah kalian sudah bangun?” terdengar suara ramah. Aku menjawab. ”Ya. Kami sudah bangun.” ”Apakah aku boleh masuk?” Aku menjawab pendek, ”Ya.” ”Siapa, Ra?” Seli berbisik, tidak mengerti percakapan. Pertanyaan Seli terjawab sendiri saat ibu si kecil mendorong pintubulat. Dia tersenyum ke arah kami. ”Bagaimana tidurnya? Nyenyak,bukan?” “Bumi” 184 Aku mengangguk. ”Oh, kamu mengenakan pakaian itu.” Ibu si kecil menatap Ali,tersenyum lebar. ”Cocok sekali. Kamu terlihat tampan.” ”Dia bilang apa, Ra?” Ali bertanya. ”Dia bilang kamu harus hati-hati memakainya, jangan sampai robekatau rusak. Itu baju mahal,” aku menjawab asal. ”Kamu tidak menipuku kan, Ra?” Ali tidak percaya. Aku nyengir lebar. ”Aku sedang menyiapkan sarapan di dapur. Setengah jam lagimatang. Kalau kalian sudah siap, jangan sungkan, ayo bergabung. Si kecilpasti senang meja makan ramai setelah hampir setahun kakaknya tidakada di rumah.” Ibu si kecil tersenyum hangat. Aku mengangguk, bilang akan segera menyusul. ”Ruangannya ada di ujung lorong ini, belok kanan hingga kalianmenemukan pintu berikutnya. Jangan lama-lama, nanti sarapannyadingin.” Wanita itu tersenyum sekali lagi sebelum melangkah ke pintubundar, kembali ke dapur. ”Apa yang akan kita lakukan, Ra?” Seli bertanya setelah kamitinggal bertiga. ”Kita mandi pagi, Sel,” aku menjawab pelan. Ali memang yangpaling logis di antara kami bertiga. Kami diundang sarapan, maka akanlebih baik jika kami datang dengan wajah segar. ”Mandi?” Seli menatapku. Aku menoleh ke pintu kecil bulat di kamar. Ali mengangguk, asyik menyisir rambutnya dengan jemari. ”Tenangsaja, kamar mandinya tidak sekecil pintunya. Dan kalian tidak perluhanduk sama sekali. Masuk saja. Itu kamar mandi yang fantastis. Lebihluas dibanding kamar ini.” “Bumi” 185 Aku mengangguk, mendorong pintu bulat kecil. Ali lagi-lagi mandi ini hebat. Saat aku menutup pintunya, belasan lampulangsung menyala otomatis. Aku berada di tabung bulat besar denganbanyak kompartemen. Dindingnya terbuat dari kaca, mengeluarkan sinarlembut. Ada kompartemen untuk meletakkan pakaian kotor, adakompartemen untuk pakaian bersih, wastafel, dan sebagainya sepertiyang kukenali—meski bentuknya aneh. Kejutan terbesarnya saat akumasuk ke ruangan mandinya. Ada belasan keran memenuhi dindingtabung. Saat tombol keran ditekan, bukan air yang keluar, melainkanudara segar, menerpa badan seperti memijat. Aku jelas tidak terbiasamandi dengan udara, siapa yang terbiasa? Tapi itu seru, tidak adabedanya mandi dengan air. Tabung mandi segera dipenuhi aroma wangidan gelembung kecil, badanku bersih dan segar. ”Bagaimana?” Ali cengengesan bertanya saat aku keluar. Aku tidak menjawab. Aku sedang memperbaiki posisi pakaian yangkukenakan. Aku tidak bisa mengenakan seragam sekolah yang kotor, jaditadi mengambil sembarang di kompartemen pakaian bersih, memilihpakaian dengan warna paling terang—meski tetap gelap juga. Awalnyajijik memegang baju lengket itu, tapi saat dikenakan, baju tersebutmenempel di badan dengan nyaman, segera menyesuaikan ukuran,termasuk kerah di leher. Aku mengenakan sepatu yang serupa dengan Ali,sepatu ini membuatku melangkah lebih ringan. Aku tersenyum puas. Sepertinya aku bisa menyukai pakaian duniaini. ”Kamu juga harus hati-hati mengenakan pakaian ini, Ra.” Ali juganyengir melihatku sedang becermin. ”Kenapa?” Aku menoleh. ”Kan kamu sendiri yang bilang bahwa pakaian ini mahal, jangansampai rusak.” Aku tertawa kecil. Seli juga ikut mandi setelah aku meyakinkan apa sekolahnya paling kotor. Dia juga harus berganti pakaian. Seli “Bumi” 186keluar dari pintu bulat kecil dengan wajah lebih segar lima belas menitkemudian. Dia mengenakan baju lengan pendek, celana panjang gelapyang seperti menyatu dengan sepatunya, dilapis rok hingga lutut. Seliterlihat modis—seperti biasanya, di sekolah dia selalu terlihat paling rapiberpakaian. Kami sudah siap, tidak berbeda dengan tampilan orang-orang didunia ini. Saatnya sarapan. *** ”Wow, kalian terlihat berbeda sekali dengan pakaian-pakaian itu,”Ilo menyapa kami, tertawa lebar. ”Itu sebenarnya bukan pujian buat kalian.” Ibu si kecil ikut sedang meletakkan makanan di atas meja. Aku menatap wanita itu, tidak mengerti. ”Pekerjaan suamiku adalah desainer pakaian. Semua pakaian yangkalian kenakan, juga pakaian yang kami kenakan adalah desainnya. Jadidia sedang memuji diri sendiri.” Ibu si kecil sambil tertawa menjelaskan. ”Desainer pakaian?” aku bergumam. Si kecil melambaikan tangankepada kami. Wajahnya yang kemerah-merahan terlihat lucumenggemaskan. ”Iya, desainer pakaian.” Ibu si kecil mengangguk. ”Ayo, semuaduduk, masakan sudah siap.” Tiga kursi bergerak keluar dari meja makan. Seli memeriksa selintas, melirikku, mengira-ngira apakah kursi iniakan berputar saat diduduki. Ali sudah duduk nyaman. Itu hanya kursikayu seperti umumnya, meskipun bentuknya lebih mirip tunggul ini menempel di lantai, jadi tidak akan melayang. Aku dan Seliduduk. “Bumi” 187 ”Perkenalkan, ini istriku, Vey, sedangkan si kecil, Ou. Nah, Ou, tigakakak-kakak ini namanya Raib, dengan rambut hitam panjangnya, indahsekali, kan? Seli, yang rambutnya pendek, dan satu lagi, Ali, yangrambutnya berantakan.” Ilo memperkenalkan kami. Ou terlihat riang. Dia malah turun dari bangkunya, menyalamikami bergantian. ”Dia bilang apa? Kenapa dia melihat ke arah rambutku?” Aliberbisik kepadaku. Aku tertawa, sepertinya menyenangkan menjadi orang yang lebihtahu dibanding si genius ini—bisa membalas gayanya saat meremehkanorang lain. ”Dia bilang rambutmu yang paling keren di antara semuaorang.” ”Oh ya?” Ali nyengir, refleks menyisir lagi rambut berantakannyadengan jemari. ”Kakak si kecil namanya Ily. Seperti yang kubilang semalam,usianya mungkin dua atau tiga tahun di atas kalian. Saat ini diabersekolah di akademi yang jauh dari sini. Dia suka sekali dengan sistemdan peralatan canggih. Dia bilang, sistem transportasi dan sistem lainnyadi kota ini ketinggalan zaman. Anak muda seumuran dia selalu semangatbelajar,” Ilo menambahkan. ”Ayo anak-anak, jangan ragu-ragu, silakan dinikmatimakanannya.” Vey mulai sarapan. Entah berada di dunia apa pun, sarapan tetaplah sarapan yangmenyenangkan. Keluarga ini ramah. Ou sedang suka berceloteh. Veygesit dan tangkas membantu kami. Dan yang lebih penting lagi,masakannya enak. Bahkan Ali yang selalu santai menghadapi dunia initetap mengernyit saat pertama kali melihat makanan di atas piring—piringnya lebih mirip sepatu dengan lubang kaki yang besar. Masakannyalebih aneh lagi, itu seperti bubur, tapi dengan warna gelap. “Bumi” 188 ”Tidakkah orang di dunia ini tahu bahwa warna makanan memilikikorelasi dengan selera makan?” Ali berbisik padaku. Tapi dia sendiri yangjustru semangat menghabiskan makanan itu setelah mencobamencicipinya sesendok. Sepertinya lezat. Ali nyengir. Cengiran Ali cukupbagiku dan Seli untuk berani meraih sendok. Memang sedap. ”Kota ini memang dibangun agar bisa beroperasi secara efisien.” Ilosudah berganti topik percakapan untuk kesekian kali. Dia persis sepertiPapa di rumah, suka mengobrol saat sarapan, dan mengambil topik apasaja sebagai bahan percakapan. ”Kota kami tidak lagi menggunakan air untuk mencuci piring,pakaian, ataupun mandi. Cukup dengan udara. Itu lebih bersih, higienis,dan menjaga kelestarian air. Walaupun di kota-kota lain dan daerahpedalaman masih menggunakan air. Kamu suka kamar mandinya,bukan?” Aku mengangguk, menyendok bubur hitam. Aku tidak banyakbicara, hanya sesekali. Yang sering adalah menjelaskan percakapankepada Ali dan Seli mereka berusaha mengikuti. ”Juga pakaian yang kalian kenakan, contoh lainnya. Kami memilikiteknologi benang sintetis yang dapat menyesuaikan diri secara otomatisdengan pemakainya. Jadi pakaian bisa awet dipakai meski pemiliknyabertambah dewasa, atau sebaliknya, pakaian itu diberikan kepada oranglain yang lebih kecil. Dan sepatunya terasa ringan, bukan? Sepatu itumemang didesain membuat pemakainya lebih ringan sekian persensesuai keperluan. Memudahkan mobilitas.” Aku mengangguk lagi. ”Kakak sekolah di mana?” Ou bertanya. Aku refleks menyebut nama SMA-ku. Ou terdiam. ”Itu nama akademi, ya?” Aku menggeleng, menelan ludah. Pasti tidak ada di dunia ini namasekolah seperti itu. “Bumi” 189 ”Mereka datang dari jauh, Nak. Kemungkinan dari luar negeri,” Ilomenjelaskan. ”Kamu lihat, dua kakak yang lain juga tidak bisa bicaradengan kita. Bahasanya berbeda.” Ou mengangguk-angguk menggemaskan. ”Sebenarnya masalah teknis lorong berpindah ini tidak sekecil yangdibicarakan orang-orang kota. Ini masalah serius.” Ilo menghela napas,sudah lompat lagi ke topik berikutnya. ”Lorong itu tidak hanya mengirimorang-orang ke tempat yang salah. Tersesat. Kacau-balau. Kalian tahu,beberapa hari lalu, aku bahkan menemukan banyak benda aneh dikamar tidur Ou. Aku sama sekali tidak mengenali barang tersebut.” Aku hampir tersedak. Benda aneh? Tiba-tiba aku memikirkansebuah kemungkinan. ”Boleh kami melihatnya?” aku bertanya senormal mungkin. ”Kenapa tidak?” Ilo mengangkat bahu. ”Sebentar, akankuambilkan.” Ilo beranjak berdiri, melangkah ke lemari di pojok dapur. ”Dia mau ke mana?” Ali bertanya—seperti biasa ingin tahu danmendesak diterjemahkan. Aku tidak segera menanggapi Ali. Aku menatap Ilo yang kembalimembawa sesuatu. Ya ampun! Aku hampir berseru saat benda-benda itu diletakkan diatas meja makan. Naluriku benar. Aku mengenalinya. Itu novel milikku,flashdisk, peniti, kancing baju, tutup bolpoin, semua benda yangkuhilangkan malam sebelumnya. Ilo meletakkannya di atas meja. ”Kalian pernah melihat benda seperti ini?” Ilo menunjuk kancingbaju. ”Entahlah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul begitu saja dimeja belajar Ou. Lihat, yang satu ini sepertinya buku. Tetapi bentuknyaaneh, bukan? Aku juga tidak mengenali tulisan di dalamnya. Huruf-hurufyang aneh.” Ilo mengangkat novelku, membuka sembarang halamannya,memperlihatkannya kepada kami. “Bumi” 190 Seli dan Ali terdiam di sebelahku. Tanpa dijelaskan mereka tahuapa yang sedang dibicarakan. Mereka juga tahu itu benda-benda milikku. ”Bahkan, yang lebih aneh lagi, kalian lihat,” Ilo melangkah sebentarke dekat lemari lainnya, menarik keluar sesuatu, ”ini benda yang besaruntuk bisa lolos ke dalam kesalahan teknis kecil sistem lubang ini benda apa. Bentuknya seperti kursi, tapi model danteknologi kursi ini terlalu primitif. Aku tidak yakin ini datang dari lubangberpindah, siapa yang hendak mengirimkan kursi? Lebih baikmenggunakan transportasi biasa, bukan?” Aku menahan napas. Itu kursi belajarku. ”Ayolah, Ilo.” Vey tersenyum simpul. ”Kita sedang sarapan, tidak akan membahas lagi benda-benda itu pada saat sarapan yangmenyenangkan ini, kan? Ayo, anak-anak, habiskan makanan kalian. Iloterlalu sering berpikir yang tidak-tidak. Imajinasinya ke mana-mana. Diabahkan sering berpikir dunia ini tidak sesederhana seperti yang mau tambah buburnya, Ra?” Aku, Seli, dan Ali saling tatap dalam diam. “Bumi” 191 ESUAI rencana tadi malam, setelah sarapan, Ilo akanmengantar kami ke pusat pengawasan lorong berpindah, untukmenemukan jalan pulang. ”Ini sepertinya bukan ide yang baik, Ra,” Ali berkata pelan, saatkami disuruh menunggu di ruang tengah. Ou sedang bersiap, mengambiltas sekolahnya. Sang ibu ikut mengantarnya ke sekolah. ”Tidak akan ada yang bisa membantu kita di pusat pengawasanlorong itu. Saat mereka bertanya detail, jelas kita tidak bisa menjelaskanbahwa kita datang dari dunia berbeda. Semaju apa pun teknologi duniaini, itu tetap penjelasan tidak masuk akal. Bagaimana kalau merekamenganggap kita berbahaya? Menangkap kita?” Aku sebenarnya sependapat dengan Ali. Tapi apa yang bisa kamilakukan? ”Mereka hanya berpikir kita datang dari kota atau tempat Sesederhana itu,” Ali bergumam. ”Setidaknya keluarga ini baik dan ramah. Aku percaya Ilo tidakakan mengantar kita ke tempat jahat,” Seli berkata pelan. Sejak tadi malam, Seli menerima apa pun solusinya, sepanjang bisamembuat kami pulang layak untuk dicoba. Keberadaan bangku belajar,novel, flashdisk, dan benda-benda milikku yang ditemukan di kamar Oudengan sendirinya memastikan kami berada di dunia lain sepertipenjelasan Ali tadi malam. Tapi Seli juga benar, keluarga ini baik kepadakami. Ou terlihat lucu, ibunya ramah dan cantik—lebih cocok menjadimodel terkenal dan Ilo, selain baik, masih terlihat muda, tampan,sepertinya bukan sekadar desainer pakaian biasa. Ou bernyanyi-nyanyi riang, keluar dari kamar membawa tassekolah. ”Jangan berlari di rumah, Ou!” tegur sang ibu diiringi senyum. “Bumi” 192 ”Kalian sudah siap?” tanya Ilo, yang keluar dari ruang kerjanyadengan membawa tas. Aku mengangguk. ”Baik, mari kita berangkat.” Ilo menekan tombol di pergelangantangannya. Sebuah lubang muncul di depan kami, awalnya kecil, kemudianmembesar setinggi orang dewasa. Pinggirnya berputar-putar sepertigumpalan awan hitam. Ou lompat lebih dulu masuk, disusul bertiga ikut masuk. Terakhir di belakang, Ilo melangkah. Lubang itumengecil, lenyap. Kami berada dalam kegelapan selama beberapa detik,kemudian muncul titik cahaya kecil, membesar membentuk lubang bisa melangkah keluar. ”Selamat datang di Stasiun Sentral.” Ilo tertawa melihat wajahbingung kami. Aku kira pertama-tama kami akan menuju sekolah Ou. Ternyatatidak. Ini bukan sekolah. Ini ruangan besar yang megah, mirip stasiunkereta, tapi berkali-kali lebih canggih daripada stasiun kereta palingmodern di dunia kami berasal. Belasan jalur kereta, puluhan kapsulberlalu-lalang, seperti mengambang di rel, datang dan pergi. Jalur-jaluritu tidak hanya horizontal, tapi juga vertikal, ke segala arah. Ada yangmasuk ke bawah tanah, menyamping, bahkan ke atas, masuk ke dalamlorong, ada banyak sekali arah jalur. Ruangan megah itu terlihat terbuat dari pualam terbaik. Dindingnya cemerlang. Di langit-langit tergantung belasan lampu kristal mewah. Orang-orang berlalu-lalang, terlihat sibuk, bergegas. Naik-turun,pindah jalur. Hamparan lantai stasiun dipadati kesibukan pagi hari. ”Kalian sepertinya tidak pernah melihat stasiun kereta.” Ilomenepuk bahu Ali si genius itu sampai ternganga menyaksikan stasiun. ”Kita tidak lewat lubang berpindah menuju sekolah Ou?” akubertanya. “Bumi” 193 ”Di kota ini, lubang berpindah hanya digunakan untuktransportasi di atas. Tidak di bawah. Di dalam tanah, kamimenggunakan cara lama yang lebih mengasyikkan. Dengan kapsulkereta.” ”Ini di dalam tanah?” aku bertanya bingung. ”Seluruh kegiatan kota memang ada di dalam tanah. Kami tidakmau merusak hutan, sungai, apa pun yang ada di permukaan. Itulahkenapa rumah-rumah dibangun di atas tiang tinggi puluhan gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sekolahdiletakkan di dalam tanah. Tenang saja, ini persis seperti di ataspermukaan, sirkulasi udara, cahaya, semuanya sama, bahkan kamu tidakakan menyadari sedang berada ratusan meter di bawah tanah, di dalambatuan keras. Satu-satunya perkantoran yang berada di atas tanahadalah Tower Komite Kota atau di sebut juga Tower Sentral yang beradadi atas, menara dengan banyak cabang bangunan yang kalian lihat tadimalam.” Salah satu kapsul merapat di dekat kami. ”Ayo, kita naik. Kapsulnya sudah datang.” Ilo melangkah. Pintu kapsul terbuka. Ou masuk lebih dulu. Kapsul itu tidakberbeda dengan satu gerbong kereta berukuran kecil. Ada belasan kursi didalamnya, sebagian sudah diisi penumpang lain. Dinding kapsul yangmenjadi layar televisi menampilkan informasi perjalanan dan siaran. Ali menatap sekitar tidak henti-hentinya. Dia tidak peduli orang lainmemperhatikannya. Aku sempat khawatir melihat kelakuan Ali, apalagibeberapa orang di dekat kami tiba-tiba berdiri. Anak-anak remaja,memakai seragam, mereka terlihat berseru-seru antusias. Merekamengeluarkan buku, mendekati bangku kami. Apa yang akan mereka lakukan? Aku menyikut Ali agar bertingkahlebih normal. ”Kalian harus terbiasa dengan hal ini,” justru Vey yang berbisik,menahan tawa. “Bumi” 194 Anak-anak remaja seumuran kami itu menyapa Ilo—tentu sajabukan menyapa Ali. Satu-dua berseru-seru senang. Mereka mengulurkanbuku bersampul kulit masing-masing. Aku segera tahu apa yang sedang terjadi. Di layar televisi terlihattayangan, mungkin itu sebuah iklan. Wajah Ilo tampak close upmemenuhi layar, tersenyum memamerkan koleksi pakaian terbaru. ”Ilo desainer pakaian paling terkemuka. Dia melakukan revolusibesar-besaran dengan teknologi yang ditemukannya. Dia selebritas, tidakkalah terkenalnya dibanding pesohor lain di kota ini. Tapi begitulah, dirumah dia tetap ayah yang kadang membosankan bagi Ou.” Vey tertawalagi. ”Bahkan kalian bertiga tidak kenal Ilo, bukan? Sepertinya daritempat kalian datang, Ilo tidak dikenal siapa pun. Padahal Ilo selalumenyombong dirinya terkenal di mana-mana.” Aku ikut tertawa—lebih karena aduh, lihatlah, anak-anak remajaitu masih berseru-seru saat buku mereka ditandatangani, salingmenunjukkan buku, wajah seolah histeris, lantas kembali ke bangkumasing-masing. Mereka persis teman remajaku di sekolah setiap melihatartis idola atau penyanyi boyband dari Korea.”Apa yang terjadi?” Seli bertanya, di sebelahku. ”Gwi yeo wun,” aku, menjawab sekenanya, teringat beberapa harilalu di dunia kami, Seli mengatakan kalimat itu saat Ali tiba-tiba datangingin mengerjakan PR mengarang bersama. Ali tidak mendengar kalimatku. Dia masih sibuk memperhatikan,terpesona menatap buku-buku yang dibawa penumpang ber saat menandatangani buku penggemarnya, Ilo hanya mengguratnyadengan ujung jari. Tulisannya muncul sendiri di atas kertas. Itu jelaslebih menarik bagi si genius ini. Kapsul yang kami naiki terus melesat cepat dalam jalur kereta. Diluar tidak terlihat apa-apa, tapi sepertinya kami masuk semakin dalam. ”Kamu tahu, Ra, aku lebih suka menggunakan kapsul inidibandingkan lorong berpindah.” Ilo yang selesai melayanipenggemarnya kembali mengajakku bercakap-cakap. ”Lebih “Bumi” 195konvensional, seperti desain baju yang kubuat, tapi lebih nyaman danaman. ”Sistem lorong berpindah itu menggunakan energi yang terlalubesar. Boros. Kelak kalau insinyur kami menemukan cara berpindah diatas dengan teknologi lebih murah, tanpa harus membuat jalan di hutan,jembatan, dan sebagainya yang bisa merusak, mungkin kami akanmenyingkirkan sistem lorong berpindah.” Aku hanya diam, mendengarkan. Setelah beberapa menit melesat, kapsul itu akhirnya berhenti. Oudan ibunya berdiri. ”Kita sudah tiba di sekolah Ou,” Ilo menjelaskan. ”Ayo, ucapkan selamat tinggal kepada Ayah dan kakak-kakak.” Veytersenyum. Ou meloncat riang. Dia memeluk Ilo, kemudian menyalami kamibertiga, mengucap salam, lantas turun dari kapsul. ”Semoga kalian segera bisa pulang ke rumah. Orangtua kalian pastisudah cemas sekali.” Vey menyalami kami. ”Terima kasih banyak,” aku berkata sopan. Kami bertiga ikut berdiri, mengantar hingga ke pintu kapsul. ”Salam buat orangtua kalian ya, dan jangan sungkan mampir lagijika berada di kota ini. Rumah kami selalu terbuka hangat buat kalian.”Vey memelukku untuk terakhir kali sebelum melangkah turun menyusulOu. Aku mengangguk. Aku tidak akan percaya kami berada di dalam tanah jika Ilo tidakbilang begitu. Dari pintu kapsul yang terbuka, sebuah bangunan sekolahterlihat. Beberapa kapsul lain merapat dari banyak jalur, anak-anaksekolah berlompatan turun, beberapa ditemani orangtua luas, dengan rumput terpangkas rapi. Beberapa pohon “Bumi” 196tumbuh tinggi. Ou sudah berlari riang melintasi gerbang menyapateman-temannya, meninggalkan ibunya yang masih melambaikantangan kepada kami. Pintu kapsul menutup perlahan. Kapsul kembali melesat. Masih ada dua pemberhentian berikutnya. Anak-anak remajaberseragam itu turun, juga penumpang lain, menyisakan kami berempatketika layar televisi mendadak berganti siaran. Sepertinya itu sebuahbreaking news. Ilo menatap layar dengan saksama. Seli memegangtanganku. Ali juga berhenti memperhatikan sekitar, ikut menatapdinding kapsul. Seli dan Ali boleh jadi tidak tahu apa yang sedang disampaikanpembawa acara, tapi mereka dengan segera mengerti berita itu. Sebuahtiang raksasa terlihat menimpa bagian hutan, lantas di sebelahnya duabangunan besar berbentuk balon tergeletak hancur bersama potongantiang, menghantam lebih banyak pohon lagi. ”Tidak ada yang bisa memastikan apa dan dari mana benda iniberasal. Petugas Komite Kota sedang melakukan pemeriksaan bisa dipastikan, belasan pohon rusak, dua rumah roboh saat bendaini muncul begitu saja. Tidak ada korban jiwa. Dua rumah dilaporkandalam keadaan kosong saat kejadian.” ”Ini jelas bukan masalah teknis lorong berpindah lagi.” Ilo disebelahku menghela napas. ”Ini sesuatu yang lebih besar.” Aku, Seli, dan Ali terdiam. *** Ilo juga hanya diam mematung beberapa saat setelah siarantersebut. Dia mengusap wajahnya, lantas bangkit berdiri, menekantombol-tombol di dinding kapsul. ”Anak-anak, kita tidak jadi menuju Pusat Pengawasan LubangBerpindah.” Ilo menggeleng. ”Aku akan memasukkan tujuan baru kita.” Aku bingung. ”Ke mana?” “Bumi” 197 ”Anak-anak...” Ilo masih berdiri, tidak menjawab pertanyaanku. Diamenatap kami bergantian dengan tatapan serius, sementara di luarkapsul melakukan manuver, melengkung, berbelok arah dengan mulus.”Sebenarnya, dari mana kalian berasal?” Aku mendongak, menatap wajah Ilo. ”Dia bertanya apa?” Ali berbisik. Aku menahan napas. ”Kalian tahu, istriku mungkin benar ketika berkali-kali bilang akuterlalu banyak berimajinasi karena pekerjaan ini. Tetapi ada banyak halyang kita imajinasikan nyata. Seperti pakaian, sejauh apa pun imajinasikita, itu nyata, menjadi sesuatu yang bisa disentuh. Sejak tadi malam akumemikitkan situasi ini. Buku aneh itu, dengan huruf-huruf yang yang kalian kenakan saat ditemukan di kamar anak ada tulisan dengan huruf yang sama? Terlalu banyak hal yangtidak bisa dijelaskan. Kalian tidak tersesat dari tempat biasa. Dari manakalian berasal?” Wajah Ilo terlihat serius sekali, meski ekspresi wajahnya yang baiktidak hilang. Aku berhitung, apakah akan menjawab atau tidak. Aku menoleh ke arah Seli dan Ali—yang tidak mengerti apa yangkami bicarakan. Aku menggigit bibir. Baiklah, meski ini boleh jadi tidak masuk akaldan akan membuat Ilo tertawa, aku akan menjawab. Suaraku bergetar.”Kami juga tidak tahu. Mungkin saja kami berasal dari dunia yangberbeda, dunia lain.” Mengatakan kalimat itu saja sudah terasa aneh, ”dunia lain”,apalagi berharap reaksi orang saat mendengarnya. Tapi Ilo tidak tertawa,mengernyit, atau reaksi sejenisnya. Dia hanya terdiam, ikut menahannapas, berusaha mencerna kalimatku. ”Juga benda raksasa yang menghantam dua tiang rumah itu?”
NovelTere Liye Bumi posts about sinopsis novel bumi karya tere liye written by referensibukubagus referensi buku bagus sinopsis buku resensi buku review buku buku terbaik referensi buku terbaru 2017 referensi buku islam buku best seller 2017, tere liye kamis 18 agustus 2016 saat merilis pertama kali novel bumi tahun 2014 saya tidak
Namaku Raib, usiaku 15 tahun, kelas sepuluh. Aku anak perempuan seperti kalian, adik-adik kalian, tetangga kalian. Aku punya dua kucing, namanya si Putih dan si Hitam. Mama dan papaku menyenangkan. Guru-guru di sekolahku seru. Teman-temanku baik dan kompak. Aku sama seperti remaja kebanyakan, kecuali satu hal. Sesuatu yang kusimpan sendiri sejak kecil. Sesuatu yang menakjubkan. Namaku, Raib. Dan aku bisa menghilang. Download gratis Bumi pdf oleh Tere Liye Untuk mendownload pdf Novel yang berjudul "Bumi" karya Tere Liye, silahkan klik tombol di bawah ini. DOWNLOAD Baca online eBook Bumi karya Tere Liye Anda juga bisa membaca secara online ebook Bumi yang ditulis oleh Tere Liye. Jika ingin membaca secara online, silahkan klik tombol di bawah ini. BACA ONLINE Terima kasih telah membaca Bumi. Untuk ebook, buku, novel, komik dan karya menarik lainnya, silahkan kunjungi di sini. Tere Liye Novel
DownloadPDF Novel BUMI Karya Tere Liye - Novel berjudul Bumi ini merupakan karya dari penulis ternama di Indonesia, yakni Tere Liye. diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama di tahun 2014. Prolog. Namaku Raib. Aku murid baru di sekolah. Usiaku lima belas tahun. Aku anak tunggal, perempuan.
DownloadNovel Pulang - Pergi Karya Tere Liye. Download Novel Si Putih pdf Karya Tere Liye. Download Novel Buya Hamka pdf Karya Ahmad Fuadi. Semenjak ditinggal kеduа оrаng Taunya Lаіl sangat tеrрukul, tetapi Lаіl рunуа саrа sendiri untuk berhenti mеmіkіrkаnnуа, уаіtu mеnjаdі ѕеоrаng Relawan. Lаіl membalas
DownloadEbook Buku Novel Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah Gratis - Tere Liye. MEGA GDRIVE MEDIAFIRE. PERPSUTAKAANDUNAIKU - Siapa yang tidak kenal dengan Tere Liye, Tere Liye dikenal sebagai seorang penulis Novel yang menyentuh Hati dan menarik, karya-karyanya selalui membuat booming para pembaca novel. beliau lahir di Lahat, 21 Mei 1979
2808/2020 · Download Novel Bumi by Tere Liye Pdf. Novel ini adalah buku pertama dari serial " BUMI ". Novel BUMI ini bisa kalian download melalui link Download ebook novel Dalam Mihrab Cinta by. Habiburrahman El Shirazy - baca online [pdf] Sinopsis Syamsul si tokoh utama ialah seorang yang sangat senang dengan tantangan. Sifat itu Page
NNNmLl. yydg8j2x50.pages.dev/515yydg8j2x50.pages.dev/404yydg8j2x50.pages.dev/249yydg8j2x50.pages.dev/282yydg8j2x50.pages.dev/263yydg8j2x50.pages.dev/191yydg8j2x50.pages.dev/310yydg8j2x50.pages.dev/180
novel tere liye bumi pdf